Novena
Christy (0910310089), Nailatul Husna (0910310272), Linda Muchacha P. (0910313107)
Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Publik Universitas
Brawija Malang – Indonesia
Abstrak
Dalam melakukan suatu tindakan, manusia mempunyai ukuran
baik dan buruk. Untuk merumuskan baik buruk dan penting tidaknya suatu
tindakan, manusia mempunyai landasan yang disebut nilai. Jadi, nilai dibutuhkan dalam semua
kegiatan, termasuk kegiatan administrasi. Dalam melaksanakan tugasnya melayani
kepentingan publik, seorang Administrator harus memperhatikan nilai-nilai yang
ada dalam administrasi publik agar hasilnya tidak mengecewakan. Karena
kehadiran nilai itu sendiri berfungsi sebagai kontrol langsung sikap dan
prilaku dalam bekerja.
Kata
kunci : Nilai, Pelayanan, Administrasi Publik.
Pendahuan : Pentingnya Nilai
Dalam kondisi persaingan yang cukup ketat dan
penuh tantangan di era globalisasi ini, seorang
administrator
dituntut untuk bisa memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat dan
berorientasi kepada kebutuhan masyarakat. Kualitas pelayanan
ini menjadi salah satu indikator dari keberhasilan birokrasi pelayanan publik.
Dalam menjalankan misi, tujuan, dan
programnya, birokrasi publik menganut prinsip-prinsip
efisiensi, efektivitas dan
rasional. Pasalong mengungkapkan,
“Administrasi adalah pekerjaan terencana yang dilakukan oleh
sekelompok orang dalam bekerjasama untuk mencapai tujuan atas dasar efektif,
efisien, dan rasional.”
(Harbani Pasalong, 2007)
Pelayanan
publik, merupakan hak masyarakat yang pada dasarnya mengandung prinsip:
kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu, akurasi, keamanan, tanggung-jawab,
kelengkapan sarana dan prasarana, kemudahan akses, kedisiplinan,
kesopanan keramahan, dan kenyamanan. Upaya untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik sudah
seharusnya dilakukan. Langkah ini diharapkan dapat mengembalikan citra aparat
pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Opini negatif tentang
aparat pemerintah dapat diperbaiki dengan meningkatkan responsibilitas,
transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik. Pemerintah juga harus
melibatkan masyarakat dalam menentukan standar pelayanan yang dijadikan sebagai
dasar dalam penyelanggaraan pelayanan publik. Pembaharuan sistem dan
kelembagaan menjadi penting dilakukan sebagai dasar merancang standar pelayanan
publik yang optimal. Peraturan perundang-undangan di Indonesia sebenarnya telah
memberikan landasan formal penyelenggaraan pelayanan publik yang didasarkan
pada asas-asas umum pemerintahan yang baik. Hal ini tercantum dalam pasal 3
Undang-Undang No 28 tahun 1999 tentang Penyelanggaraan Negara yang Bersih dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang menyebutkan:
“asas-asas yang menjadi
landasan penyelenggaraan pelayanan publik terdiri atas Asas Kepastian Hukum,
Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, Asas Kepentingan Umum, Asas Keterbukaan,
Asas Proporsionalitas dan Asas Akuntabilitas.” (UU
No. 28/1999)
Selain itu, Pasal 4 UU No. 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik, menjawab semua yang menjadi keresahan masyarakat
selama ini.
“Masyarakat tidak perlu takut dengan
sikap pemerintah yang terkesan pilih-pilih dalam memberikan pelayanan publik
selama ini. UU Pelayanan Publik menjamin kesamaan hak, kesamaan perlakuan/tidak
diskriminatif, kepastian hukum dan fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok
yang rentan.” (UU No. 25/2009)
Upaya ini memang tidak mudah dilakukan karena harus
merubah mindset aparat pemerintah dari yang biasanya berperan sebagai pelayan masyarakat, kemudian menjadi abdi masyarakat. Selama ini birokrat
atau aparat tampaknya tidak profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Misalnya, birokrat selalu seenaknya sendiri dalam memberikan pelayanan dan
terkesan tebang pilih dalam melayani masyarakat. Dalam artian, siapa yang dapat
memberi keuntungan lebih besar kepada birokrat tersebut, maka dia yang
didahulukan. Hal ini berarti para birokrat bekerja tanpa memperhatikan nilai
nilai yang ada pada masyarakat.
James L. Perry berpendapat bahwa,
“Seorang
administrator yang ideal adalah yang memiliki technical skills, human skills,
conceptual skills, responsif terhadap institusi-institusi demokratis,
berorientasi pada hasil, mampu mengembangkan jaringan kerja, dan memiliki
kemampuan melakukan komunikasi dan menjaga keseimbangan antara keputusan dan
kegiatan.”
(dalam
Yeremias T. Keban, 2004)
Seyogyanya, administrasi yang berhasil harus didasarkan
pada kebajikan dan nilai-nilai masyarakat yang mereka layani, meskipun
kebajikan dan nilai-nilai ini dapat bervariasi. Namun,
kenyataannya bahwa sangat sulit untuk mendefinisikan suatu nilai-nilai dan kebajikan secara universal. Idianto Muin mendefinisikan nilai adalah sebagai berikut,
“Nilai merupakan
kumpulan sikap dan perasaan-perasaan yang diwujudkan melalui perilaku yang
mempengaruhi perilaku sosial orang yang memiliki nilai tersebut. Nilai sosial merupakan sikap-sikap dan perasaan yang
diterima secara luas oleh masyarakat dan merupakan dasar untuk merumuskan apa
yang benar dan apa yang penting.”
(Idianto
Mu’in, 2004)
Kurangnya pengimplementasian nilai membuat
para administrator/birokrat mengesampingkan pemberian pelayanan kepada
masyarakat atau dengan kata lain mengesampingkan kepentingan publik. Denhardt mengemukakan,
“Meskipun kepentingan umum merupakan sasaran utama dari kegiatan
administrasi publik,tetapi kepentingan umum itu sendiri sering menimbulkan
masalah karena ketidakjelasan konsepnya. Selain itu ada yang mendefinisikan
kepentingan publik sebagai “shared values” atau nilai-nilai yang disepakati
bersama oleh masyarakat.” (dalam Yeremias T. Keban,
2004)
Kehadiran
nilai itu sendiri berfungsi sebagai kontrol langsung sikap dan prilaku dalam
bekerja. Jadi, agar pelayanan publik sesuai dengan harapan masyarakat, maka
nilai-nilai yang ada dalam administrasi publik harus diperhatikan.
Implementasi
Nilai dalam Administrasi Publik
Administrasi publik bersifat
konkrit dan harus mewujudkan apa yang diinginkan publik. Sedangkan menurut Pasalong,
“Nilai merupakan dasar dari etika dan moral. Etika merupakan bagian dari filsafat. Etika berfilsafat
bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan baik dan buruk.” (Harbani Pasalong,
2007)
Hal ini menimbulkan masalah yaitu bagaimana menghubungkan
gagasan administrasi seperti keteratuaran, efisiensi, efektifitas, kemanfaatan
dari kinerja yang dapat menerapkan etika atau memperhatikan nilai dalam praktiknya.
Implementasi
etika dan moral dalam praktek dapat dilihat dari kode etik yang sudah dimiliki
oleh administrator publik. Pasalong
mengatakan,
“Kode etik tentang pekerjaan di indonesia hanya
terbatas pada profesi tertentu seperti ahli hukum dan kedokteran sedangkan untuk kalangan profesi yang lainnya masih
belum ada” . ( Harbani Pasalong, 2007 )
Yang menjadi masalah sesungguhnya adalah
bagaimana implementasi nilai-nilai tersebut.
Tidak adanya kode etik ini memberikan peluang kepada administrator untuk
mengesampingkan pemberian pelayanan kepada masyarakat atau dengan kata lain
mengesampingkan kepentingan publik.
Kehadiran nilai itu sendiri berfungsi sebagai kontrol langsung sikap dan
prilaku dalam bekerja. Semua nilai yang ada dalam kode etik administrasi
didapat melalui kajian yang mendalam dari pakar-pakar administrasi. Hal ini
terus dilakukan dengan harapan dalam diskusi itu dapat menetapkan nilai-nilai
moral dan etika yang harus diperhatikan dalam bekerja, termasuk dalam kondisi
apa seorang administrator harus bertindak atau memperhatikan nilai-nilai etika.
Hasil
dari etika administrasi publik yang dapat digunakan sebagai rujukan para
birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, yang dikutip oleh Widodo :
1. Pelayanan
kepada masyarakat, yaitu pelayanan di atas pelayanan diri sendiri.
2. Rakyat
yang berdaulat dan mereka yang bekerja dalam instasi pemerintah pada akhirnya
bertanggung jawab kepada rakyat.
3. Hukum
mengatur semua tindakan dari instasi pemerintah. Dalam artian bahwa semua
tuindakan birokrasi seharusnya mengacu pada kepentingan rakyat.
4. Manajemen
yang efektif dan efisien merupakan dasar bagi birokrasi. Penyalah gunaan
(penggelapan,penyelewengan) dan pemborosan tidak dapat dibenarkan.
5. Sistem
penilaian kecakapan, kesempatan yang sama, dan asas-asas itikad baik akan
didukung, dijalankan dan dikembangakan.
6. Perlindungan
terhadap kepercayaan rakyat sangat penting, konflik kepentingan, penyuapan,
hadiah, atau faviritisme yang merendahkan jabatan publik untuk kepentingan
pribadi tidak diterima (tidak etis).
7. Pelayanan
kepada masyarakat menuntut kepekaan khusus dengan ciri-ciri sifat keadilan,
keberanian, kejujuran, persamaan, kompetisi dan kasih sayang. Birokrasi publik
harus menghargai sifat-sifat tersebut secara arif dan bijak untuk
melaksanakannya.
8. Hati
nurani memegang peranan penting dalam memilih arah tindakan. Ini memerlukan
kesadaran akan makna ganda moral dalam kehidupan dan pengkajian tentang
prioritas nilai tujuan yang baik tidak pernah membenarkan cara yang tidak
beretika.
9.
Para
administrator publik tidak hanya terlibat untuk mencegah hal yang tidak etis,
tetapi juga untuk mengusahakan hal yang etis melaui pelaksanaan tanggung jawab
dengan penuh semangat dan tepat pada waktunya. ( Joko Widodo, 2006)
Nilai-nilai etika tersebut dapat
digunakan sebagai rujukan untuk merumuskan kebijakan dalam rangka melaksanakan
tugas fungsi kewenangan dan tanggung jawabnya. Sekaligus dapat digunakan
sebagai standart untuk menilai apakah sikap, tindakan, perilaku dinilai baik
atau buruk oleh publik.
Dari nilai-nilai etika diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa
untuk menilai baik atau buruknya suatu pelayanan publik dapat dilihat dari
penerapan nilai-nilai Efiensi, yaitu
para birokrat tidak boros dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada
masyarakat. Dalam artian bahwa birokrat sacara hati-hati agar
memberikan hasil yang sebesar-besarnya kepada publik. Dengan demikian nilai
efisiensi lebih mengarah pada penggunaan sumber daya yang dimiliki secara cepat
dan tepat, tidak boros dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Jadi
nilai dikatakan baik (etis) apabila birokrat publik menjalankan tugas
kewenangannya secara efisien. Efektivitas, yaitu para birokrat dalam
melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada publik harus baik (etis) yaitu
memenuhi target atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Tujuan
yang dimaksud adalah tujuan yang telah ditentukan dalam visi misi suatu organisasi bukan tujuan pemberi
pelayanan birokrat publik. Kualitas layanan,
yaitu kualitas pelayanan yang diberikan oleh para birokrat kepada publik harus
memberi kepuasan kepada yang dilayani. Dalam artian bahwa baik (etis) tidaknya
pelayanan birokrat kepada publik ditentukan oleh kualitas pelayanan. Responsivitas,
yaitu berkaitan dengan tanggung jawab birokrat dalam respon kebutuhan publik
yang sangat mendesak. Birokrat dalam menjalankan dinilai baik atau etis jika
responsibel dan memiliki keprofesionalan atau kompetensi yang sangat tinggi. Akuntabilitas,
yaitu berkaitan dengan pertanggungjawaban dalam melaksanakan tugas dan
kewenangan administrasi publik. Birokrat yang baik atau etis adalah birokrat
yang akuntabel dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Akan tetapi etika administrasi publik diatas belum cukup
untuk menjamin penghapusan pelayanan publik yang buruk pada birokrasi publik.
Maka
dari itu, dalam pelaksanaan tugas administrasi, perlu adanya monitoring untuk memantau kinerja para
administrator. Namun dalam implementasinya, monitoring tersebut tidak harus dilakukan oleh
organisasi,
tetapi yang paling utama adalah pemantauan dari diri sendiri yang
mengacu pada nilai dalam kode etik yang disesuaikan
dengan kondisinya. Selain itu,
administrator juga harus memperhatikan nilai rasionalitas yang menyangkut
efisiensi, efektifitas dan ekonomi. Nilai politik yang berkenaan dengan
kesetaraan dan keadilan juga perlu diperhatikan.
Selain itu, nilai administrasi juga dikembangkan dalam pemikiran
positivisme. Dalam pemikiran positivisme Simon berasumsi,
“Bahwa proses pengambilan keputusan sangat menentukan untuk memahami
gejala-gejala organisasional. Dan gejala-gejala yang terjadi berlangsung dalam
hubungan organisasi : hubungan kerjasama, kerjasama manusia yang secara faktual
berada dalam eksistensinya sebagai individu atau essensi eksistensinya sebagai
manusia dan secara logis manusia terikat hubungan hirarkis yang dikehendaki
oleh organisasi itu sendiri. Teori
administrasi secara khas juga merupakan teori rasionalitas yang diharapkan dan
terbatas. Teori mengenai perilaku manusia yang mementingkan kepuasan karena ia
tak memiliki kecerdasan untuk mencapai kepuasan titik maksimum.
Ketidakcerdasannya untuk berusaha mencapai titik maksimum itulah memberikan
petunjuk bahwa manusia dalam kerjasama administrai adalah manusia yang memiliki
serba keterbatasan.” (dalam Faried Ali, 2003)
Dari asumsi simon ini memberikan petunjuk bahwa pemikiran
positivisme yang dikembangkannya tidak hanya mempertimbangkan fakta dan
mengabaikan nilai yang rasional tetapi juga berdasarkan pada rasionalitas
mutlak yang mengabaikan fakta.
Dalam implementasi penerapan nilai di administrasi publik
terjadi benturan nilai. Seperti yang diungkapkan oleh Sjamsiar Sjamsudin dalam
bukunya,
bahwa ;
“Sifat kegiatan
administrasi publik sangat kompleks karena ditandai oleh adanya dilema atau
benturan-benturan nilai-nilai. Para administrator sering menghadapi benturan
nilai yang membingungkan bahkan mengurangi wibawa mereka karena masyarakat
menjadi kurang percaya kepada mereka.” (Sjamsiar Sjamsudin,
2006)
Sebagai contoh
benturan nilai efisiensi dengan nilai keadilan apa yang disebut efisien sering
kali dianggap tidak adil karena dalam kegiatan yang bersangkutan dengan efisien
seringkali mengandung kepentingan-kepentingan yang bersifat tidak adil.
Contoh kedua dapat kita lihat ketika nilai rasionalitas
berbenturan dengan nilai kepuasan. Dalam mengerjakan tugas dan mengambil
keputusan para administrator dituntut untuk rasional dengan mengandalkan
data-data yang lengkap serta informasi yang memadai. Akan tetapi pada
kenyataannya hal ini sangat sulit terjadi karena keterbatasan teknis yaitu data dan informasi yang tidak
tersedia. Dan adanya keterbatasan manusia dalam megolah data tersebut. Akibatnya administrator memilih untuk melayani masyarakat
dalam keterbatasannya tersebut sehingga masyarakat sering beranggapan bahwa terjadi administrator sering dianggap kurang rasional
atau terlalu bertindak semaunya.
Contoh ketiga adanya benturan nilai netralitas dengan
nilai keberpihakan. Dalam pemberian pelayanan publik diperlukan kenetralan dari
pihak eksekutif atau dengan kata lain pihak administrasi harus bebas dai
politik akan tetapi bila pihak administrasi bebas dari politik maka dia tidak
responsif terhadap pihak-pihak yang tidak beruntung dalam masyarakat.
Sebaliknya bila dia berpolitik sulit ditentukan batas-batasnya karena bisa saja
kesempatan itu akan dipergunakan untuk mengutamakan kepentingannya atau
kelompoknya. Seperti yang
terjadi di indonesia saat ini nilai netralitas selalu berbenturan dengan nilai
keberpihakan. Administrator di indonesia seringkali tidak netral dalam
menjalankan tugasnya karena mereka tidak lagi mengutamakan melayani masyarakat
tetapi lebih mengutamakan kepentingan-kepentingan mereka.
Contoh lainnya
ketika derajat intervesi
seorang administrator terhadap kehidupan masyarakat seringkali dipersoalkan.
Melihat dari contoh-contoh isu kita akan dapat menemukan gambaran bagaimana
sulitnya administrator beroperasi dalam dunianya. Bagaimana menyeimbangkan
nilai-nilai yang sering bertentangan, bagaimana mengambil keputusan agar dapat
memecahkan masalah. Bagaimana agar selalu netral dan bagaimana menentukan
derajat intervensi yang dapat diterima masyarakat adalah suatu seni tersendiri
yang barangkali kurang dipahami selama ini.
Benturan-benturan
nilai tersebut disebabkan adanya tantangan dalam pengimplementasian nilai,
diantaranya adalah pluralisme yang
ada dalam masyarakat, seperti yang diungkapkan oleh Hodgerkenson,
“A pluralistic society will multiply and
intensify the breaks in the value progression, it will also intensify the
demand for administrative moral complexity. Obviously an instrument or
technique for resolving value issues would be desirable.”
(Masyarakat yang majemuk akan memperbanyak dan
mengintensifkan jeda dalam kemajuan/perkembangan nilai dan mereka juga akan mengintensifkan tuntutan mengenai kompleksitas moral administrasi. Alat untuk
mengatasi masalah nilai sangat dibutuhkan.) (christoper
Hodgerkenson, 1978)
Jadi,
dalam kondisi masyarakat yang majemuk kesepakatan tentang nilai-nilai
administrasi sangat sulit untuk ditentukan. Sebaiknya para administrator tidak
hanya menerima atau mengimplementasikan nilai-nilai administrasi yang sudah ada
secara kaku, namun harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu.
Hodgerkenson
juga menyatakan,
“The problems associated with value cannot
easily be disposed of certainly not by arbitrary adoption of a positivistic
position or by abandonment to psychologism or moral relativism. Although the
temptation is great to give up in the face of complexity, we can distinguish
the natural trends of bias and the broad schemes of value presumption which
differentiate between models of man and their attendant administrative
philosophies.”
(Masalah
yang terkait dengan nilai tidak dapat dengan mudah diatur tentu tidak diadopsi oleh keputusan positivistik atau ditinggalkan untuk psychologism atau
relativisme moral. Meskipun godaan besar untuk menyerah dalam menghadapi
kompleksitas, kita dapat membedakan bias natural tren dan skema umum praduga nilai yang membedakan antara model of man dan
falsafah petugas
administrasi.) (christoper Hodgerkenson, 1978)
Kerumitan
dalam pengimplementasian nilai membuat permasalahan dalam administrasi semakin
kompleks. Oleh karena itu, seorang administrator juga perlu mempunyai kesadaran
religius yang tinggi. Karena orang yang mempunyai tingkat keimanan dan
ketakwaan yang tinggi akan bekerja dengan penuh hati-hati karena pekerjaannya
akan dipertanggung jawabkan kelak dikemudian hari.
Penutup
Sebagai penegasan akhir tulisan ini, nilai sangat
dibutuhkan dalam praktek pelayanan publik karena digunakan sebagai penuntun
tingkah laku para administrator, sehingga dapat melayani masyarakat secara baik
dengan memperhatikan nilai efisiensi, efektivitas, kualitas layanan,
responsivitas, dan akuntabilitas. Seorang administrator juga harus diberikan kekuasaan
dalam bertindak. Disini administrator harus melakukan adjusment dengan kode
etik profesi dan tuntutan masyarakatnya. Implikasi dari adanya keleluasaan
tersebut adalah yang pantas menjadi administrator adalah orang yang profesional
yang memiliki etika dan akuntabilitas yang tinggi karena dalam pelaksanaan
tugasnya sering terjadi benturan nilai-nilai.
Dengan demikian, agar tidak terjadi penyimpangan dalam
menjalankan pelayanan publik maka sebaiknya seorang administrator tidak
hanya menerima atau mengimplementasikan nilai-nilai administrasi yang sudah ada
secara kaku, namun harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu.
Selain itu, kesadaran keimanan
dan ketaqwaan juga harus dimiliki seorang administrator agar dapat bekerja
dengan tulus dan ikhlas serta dapat mencegah dirinya dari perilaku yang tidak
terpuji.
Daftar Pustaka
Denhardt,
Janet V.and Denhardt Robert B. The New
Public Service. Dalam Keban, Yeremias T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep, Teori dan Isu.
Yogyakarta: Gava Media.
Hodgerkenson,
Christoper. 1978. Toward a Philosophy
of Administration. British.
Indradi,
Sjamsiar Sjamsuddin. 2006. Dasar-Dasar
dan Teori Administrasi Publik. Malang: Yayasan Pembangunan Nasional
bekerjasama dengan CV. SOFA Mandiri dan Indonesia Print Malang.
Mu’in,
Idianto. 2004. Sosiologi Untuk SMA
Kelas X. Jakarta: Erlangga.
Pasalong,
Harbani. 2007. Teori Administrasi
Publik. Bandung: Alfabeta.
Perry,
James L. The Effective Public
Administration. Termuat dalam Hand Book of Public Administration. dalam
Keban, Yeremias T. 2004. Enam Dimensi
Strategis Administrasi Publik Konsep, Teori dan Isu. Yogyakarta: Gava
Media.
UU
No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelanggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme.
Simon,
Hebert A. Administrative Behaviour.
Dalam Terjemahan St. Dianjung. Dalam Ali, Faried. 2006. Filsafat Administrasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Widodo,
Joko. 2006. Membangun Birokrasi Berbasis
Kinerja. Jakarta: Bayumedai Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar